PEMBAHASAN
Materi Hadis
a. Hadis Tanggung Jawab Sosial
عن النعمان بن بشير رضي الله عنهما عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : { مثل القائم على حدود الله و الواقع فيها كمثل قوم استهموا على سفينة فأصاب بعضهم أعلاها و بعضهم أسفلها فكان الذين في أسفلها إذا التقوا من الماء مروا على من فوقهم فقالوا لو أنّا خرقنا في نصيبنا خرقا ولم نؤذ من فوقنا فإن يتركوهم وما أرادوا هلكوا جميعا وإن أخذوا على أيديهم أنجوا ونجوا جميعا } . (رواه البخاري في الصحيح, كتاب الشركة, باب هل يقرع في القسمة والإستهام فيه)
Terjemah
Diriwayatkan oleh Al Nu’man bin Basyir R.A, Nabi SAW pernah bersabda : “perumpamaan orang yang tegak diatas batasan–batasan (hukum) Allah dan orang yang melanggarnya adalah seperti hukum yang mengadakan undian di atas kapal. Sebagian meraka mendapatkan tempat di atas dan sebagian meraka mendapatkan tempat di bawah. Adapun orang–orang yang berada melewati orang–orang yang diatas mereka. Mereka berpikir seandainya kita buat lubang air di tempat kita sehingga tidak mengganggu orang yang yang ada di atas kita. Apabila mereka yang ada di bagian atas membiarkan mereka yang ada di bagian bawah untuk melakukan apa yang mereka kehendaki, niscaya mereka akan binasa semua. Jika orang yang ada di atas itu melarang, maka mereka akan selamat semua. (HR. Al-Bukhori)
b. Mufrodat
مثل القائم على حدودالقائم : orang yang menegakan
الواقع :orang-orang yang melanggar
حدود : batasan-batasan
مروا : melewati
استهموا : mengadakan undian
هلكوا : binasa
سفينة : kapal
أنجوا : selamat
c. Biografi Perawi
Nu’man bin Basyir
Hidup pada tahun 1 - 64 H. Beliau adalah sahabat Nabi yang lahir di Madinah setelah Nabi hijrah berjalan 4 bulan. Nu’man bin Basyir adalah sahabat Anshor yang pertama kali setelah hijrah. Kemudoan berdomisili di Syam dan wafat nya terbunuh di desa Himash negara Syam pada bulan Dzul Hijjah 64 H. Menurut Ibnu Abi Khoitsamah wafatnya pada tahun 60 H. Hadis yang diriwayatkan beliau berjumlah 114 buah hadis, diantaranya hadis Bukhari dan muslim yang berjumlah 5, yang Bukhari saja hanya 1, dan yang Muslim saja ada 4 hadis. Ayahnya yang bernama Basyir ini mati syahid bersama Jenderal Kholid bin Walid pada tahun 12 H setelah perang Yamamah. Beliau adalah sahabat Anshor yang pertama kali berbai’at dengan kholifah Abu Bakar a.s Shiddiq r.a dan ikut ‘aqobah tsaniyah. Ikut perang Badar, Uhud dan semua perang yang diikuti beliau.
d. Keterangan Hadis
والواقع فيها (Dan orang–orang yang melanggar batasan–batasan Allah), demikian yang tercantum di tempat ini. Sementara pada pembahasan tentang perserikatan disebutkan melalui jalur lain dari Amir (yaitu Asy-Sya’bi), مثل القائم على حدود الله والواقع فيها (Perumpamaan orang orang yang tegak di atas batasan–batasan Allah dan orang yang melanggar batasan itu). Redaksi ini lebih tepat, karena orang yang mencari muka dan orang yang terjerumus kedudukannya sama dari segi hukum. Sedangkan orang yang tegak (komitmen) merupakan lawan dari keduanya.
Al-Ismaili menyebutkan pada pembahasan tentang perserikatan, مثل القائم على حدود الله والواقع فيها (Perumpamaan orang–orang yang tegak di atas batasan Allahdan orang yang terjerumus padanya). Hal ini mencakup ketiga kelompok yang ada,yaitu orang yang menjauhi maksiat, orang yang terjerumus ke dalam maksiat dan orang yang hanya mencari muka (riya’). Kemudian disebutkan pula oleh Al-Ismaili di tempat ini, مثلالقائم على حدود الله تعالى والناهى عنها (Perumpamaan orang yang melanggar batasan–batasan Allah dan orang yang melarang perbuatan itu). Riwayat ini sesuai dengan pemisalan yang disebutkan, karena tidak disebutkan padanya kecuali dua kelompok. Tetapi bila mereka yang mencari muka dinilai sama dalam hal celaan dengan orang–orang yang melanggar hukum Allah, maka keduanya dimasukkan dalam satu golongan.
Adapun penjelasan 3 kelompok dalam pemisalan di atas, yaitu bahwa orang-orang yang hendak melubangi kapal sama seperti orang yang melanggar batasan–batasan Allah. Sedangkan selain mereka ada yang mengingkari, dan inilah gambaran kelompok yang berdiri tegak di atas batasan-batasan Allah. Ada pula yang hanya berdiam diri, dan ini merupakan gambaran kelompok yang mencari muka.
Kalimatوالواقع فيها (terjerumus padanya) di tempat ini dipahami oleh ibnu At-Tin dengan arti orang yang berdiri tegak di atas batasan–batasan Allah. Dia mendukung pendapat ini dengan firman Allah SWT. إذا وقعت الواقعة (apabila hari kiamat telah ditegakkan). Kata وقع pada ayat ini bermakna tegak. Akan tetapi kelemahan pendapatnya ini sangatlah jelas. Seakan–akan ia melalaikan lafadh yang tercantum pada pembahasan tentang perserikatan, dimana kata الواقع disebutkan sebagai lawan bagi kata القائم (orang yang berdiri tegak).[6]
At-Tirmidzi meriwayatkan dari jalur Abu Muawiyah, dari Al-Amasy dengan redaksi,مثل القائم على حدود الله والمدهن فيها (Perumpamaan orang–orang yang tegak di atas batasan–batasan Allah dan orang yang mencari muka padanya). Kalimat ini memiliki makna yang serasi.
Al-Karmani berkata, “Di dalam pembahasan tentang perserikata disebutkan dengan redaksi “Perumpamaan orang yang tegak (القائم)”, dan ditempat ini dikatakan “Perumpamaan orang yang mencari muka (المدهن)”. Padahal kedua kata itu berlawanan (antonym), sebab القائمadalah orang yang menyeru kepada perbuatan ma’ruf sedangkan المدهن adalah orang yang meninggalkan perbuatan tersebut. Kemudian ia menjawab, “Jika dikatakan القائم maka itu ditinjau dari keselamatan, sedangkan bila dikatakan المدهن maka itu ditinjau dari kebinasaan. Tidak diragukan lagi bahwa perumpamaan yang disebutkan memiliki keserasian terhadap kedua kondisi itu.
Ibnu Hajar mengatakan, “Bagaimana terjadi keserasian di tempat ini sementara hadits hanya menyabutkan المدهن dan الحد الواقع في (pelanggar batasan), padahal diketahui bahwa المدهنadalah orang yang meningalkan menyeru kepada perbuatan ma’ruf, sedangkan الحد الواقع فيadalah orang yang berbuat maksiat dan kedua–duanya sama–sama celaka. Dengan demikian, yang tampak bagi saya bahwa yang benar adalah seperti yang dijelaskan terdahulu”.
Kesimpulannya, sebagian periwayat menyebutkan kata المدهن(orang yang mencari muka) dengan القائم (orang yang tegak di atas batasan Allah), sebagian lagi menyebutkan الواقع (orang yang melanggar batasan) denganالقائم lalu sebagian lagi menyebutkan ketiga–tiganya. Adapun mereka yang hanya menyebutkan المدهنdan الواقعtanpa menyertakan kata القائمmaka riwayatnya tidak memiliki keserasian.
إستهموا سفينة(yang mengundi {tempat} di satu kapal). Masing–masing mereka mengambil bagian dari kapal tersebut berdasarkan undian, dimana mereka berserikat pada kapal itu, baik dalam penyewaan ataupun kepemilikan. Hanya saja pengundian dilakukan setelah semua bagian diberikan kepada masing–masing secara rata (adil), kemudian terjadi perseturuan untuk mendapatkan bagian tertentu, maka dilakukan undian untuk menyelesaikan sengketa tersebut seperti yang telah dijelaskan.
Ibnu At-Tin berkata : “Hanya saja yang demikian itu terjadi pada kapal atau yang sepertinya, apabila mereka menempatinya secara bersamaan. Adapun bila mereka saling berebut, maka orang yang lebih dahulu dan paling cepat, dialah yang lebih berhak atas tempatnya”.
Ibnu Hajar mengatakan, “Apa yang ia katakana hanya berlaku apabila, tempat itu milik umum. Adapun bila mereka yang memilikinya, maka undian disyariatkan ketika terjadi perselisihan padanya.
فإن أخذوا على يديه (Jika mereka memegang tangannya) yakni mereka mencegahnya melubangi kapal.
أنجوه ونجوا أنفسهم(Niscaya mereka dapat menyelamatkannya dan menyelamatkan diri mereka sendiri). Ini adalah penafsiran untuk riwayat terdahulu pada pembahasan tentang perserikatan, yang mana di tempat itu dikatakan, أنجوه ونجوا(Mereka selamat dan mereka selamat) yakni selamatlah semuanya, baik yang melarang maupun yang dilarang. Demikian pula halnya dengan penegakan hukum–hukum Allah, keselamatan akan didapat oleh semua orang yang menjalankannya, baik pelaksana hukum maupun yang terhukum. Karena jika (hukum Allah) tidak ditegakkan, maka orang yang hanya berdiam diri juga akan binasa karena sikap ridha terhadapnya.
Al-Muhallab dan ulama lainnya berkata, “Dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa masyarakat umum bisa saja tertimpa adzab akibat perbuatan (maksiat) sekelompok orang tertentu”. Akan tetapi perkataan ini perlu ditinjau lebih lanjut, karena adzab yang dimaksud adalah adzab di dunia yang menimpa orang–orang yang tidak berhak mendapatkannya, maka adzab tersebut akan menghapus dosa orang tersebut (yang tidak berhak mendapatkannya) atau mengangkat derajatnya.[7]
4. Refleksi Hadis dalam Kehidupan
Manusia ditakdirkan sebagai makhluk sosial, yang mana tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Dan sebab itu, dalam kehidupan bersosial tidak lepas dari yang namanya tanggung jawab. Baik itu tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun orang lain dalam hidup bermasyarakat agar mencapai kehidupan yang sejahtera.
Manusia pada dasarnya itu sama dihadapan Tuhan. Tidak membedakan mana yang kaya dan miskin, pejabat, atasan maupun bawahan. Oleh sebab itu, sebagai makhluk sosial hendaknya kita hidup rukun, saling tolong menolong tanpa pamrih, menjaga lingkungan sekitar tempat tinggal, serta tidak membeda-bedakan harta kekayaan yang dimiliki.
Dalam konteks tanggung jawab sosial, tidak lepas dari sistem kepemerintahan yang mana didalamnya mencakup pemimpin dan yang dipimpin. Dan seorang pemimpin harus bisa berbuat adil, menegakan hukum secara tegas, tidak pandang bulu dan harus sesuai dengan apa yang telah diperbuat oleh seseorang.
Seorang pemimpin harus mencontohkan serta menyeru perbuatan yang ma’ruf, karena seorang pemimpin harus menjadi panutan supaya disegani oleh masyarakat. Serta mampu membangun kehidupan bermasyarakat menjadi lebih baik dan itu merupakan sebuah tanggung jawab seorang pemimpin dalam bersosial.
5. Aspek Tarbawi
a. Sebagai makhluk sosial hendaknya kita hidup rukun dan saling tolong-menolong.
b. Adanya rasa kebersamaan antara sesama manusia tanpa membedakan harta, tahta, dan martabat.
c. Sebagai khalifah dimuka bumi, hendaknya kita melakukan perbuatan yang ma’ruf baik kepada diri sendiri maupun orang lain.
d. Kita harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah ita lakukan.
C. PENUTUP
Tanggung jawab sosial adalah kewajiban untuk menanggung segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat untuk memperhatikan kepentingan umum.
Manusia ditakdirkan sebagai makhluk sosial, yang mana tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Dan sebab itu, dalam kehidupan bersosial tidak lepas dari yang namanya tanggung jawab. Baik itu tanggung jawab terhadap diri sendiri maupun orang lain dalam hidup bermasyarakat agar mencapai kehidupan yang sejahtera.
Manusia pada dasarnya itu sama dihadapan Tuhan. Tidak membedakan mana yang kaya dan miskin, pejabat, atasan maupun bawahan. Oleh sebab itu, sebagai makhluk sosial hendaknya kita hidup rukun, saling tolong menolong tanpa pamrih, menjaga lingkungan sekitar tempat tinggal, serta tidak membeda-bedakan harta kekayaan yang dimiliki.
Dalam konteks tanggung jawab sosial, tidak lepas dari sistem kepemerintahan yang mana didalamnya mencakup pemimpin dan yang dipimpin. Dan seorang pemimpin harus bisa berbuat adil, menegakan hukum secara tegas, tidak pandang bulu dan harus sesuai dengan apa yang telah diperbuat oleh seseorang.
Seorang pemimpin harus mencontohkan serta menyeru perbuatan yang ma’ruf, karena seorang pemimpin harus menjadi panutan supaya disegani oleh masyarakat. Serta mampu membangun kehidupan bermasyarakat menjadi lebih baik dan itu merupakan sebuah tanggung jawab seorang pemimpin dalam bersosial.
DAFTAR PUSTAKA
Amirudiin. 2007. Terjemah Fathul Baari Li Imam Ibnu Hajar Al Asqolani,Jilid 15. Jakarta : Pustaka Azam.
Qodratilah, Meity Taqdir dkk. 2011. Kamus Bahasa Indonesia untuk Pelajar. Jakarta : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Rosyada, Dede. 1999. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta : PT. RajaGrafindo.
Utang, Ranuwijaya Haji. et.al. 2007. Pustaka Pengetahuan Al-Qur’an. Jakarta : PT. Rehal Publika.
[1]Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 1308.
[2]Meity Taqdir Qodratilah dkk.,Kamus Bahasa Indonesia untuk Pelajar, (Jakarta : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011), hlm.506.
[3] H. Utang Ranuwijaya, et.al., Pustaka Pengetahuan Al-Qur’an , (Jakarta : PT.Rehal Publika, 2007), hlm. 49.
[4] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta : PT. RajaGrafindo, 1999),hlm.187-189.
[5] Dede Rosyada, ibid., hlm. 195.
[6] Amiruddin, Terjemah Fathul Baari Li Imam Ibnu Hajar Al Asqolani, Jilid 15,(Jakarta : Pustaka Azam, 2007), hlm. 168.
[7] Amiruddin, ibid. hlm 170-171.
Komentar
Posting Komentar