Al-Jarh Wa Ta’dil
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Pengantar Ilmu Hadits
Dosen Penganmpu : M. Nasrullah, M. S.I.
Disusun oleh:
Hana Lutfiana 2023116177
Fatkhiyatun Naja 20231161
Nur Kholisa 2023116188
Musfiroh 2023116189
KELAS D
PRODI PGMI JURUSAN TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PEKALONGAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ilmu hadist telah berkembang sejak zaman Rasulullah, sejalan dengan diwujudkannya hadis-hadis kepada para sahabatnya. Hal ini dapat dilihat misalnya bagaimana para sahabat dapat melihat adanya kedustaan yang disampaikan oleh seseorang yang mengatasnamakan Rasul saw. rasul juga telah menetapkan beberapa aturan, bagaimana seharusnya hadis itu diterima dan disampaikan kepada yang lainnya, seprti Rasul menyampaikan hadis-hadis tertentu kepada orang-orang tertentu, dengan cara-cara yang tertentu pula.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Al-Jarh wa Ta’dil?
2. Bagaimana Urgensi Al-Jahr wa Ta’dil?
3. Bagaimana cara mengetahui kecacatan dan keadilan perawi?
4. Bagaimana sifatsifat seseorang dikatakan jarh?
5. Apa saja tingkatan Al-jarh wa Ta’dil?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al- Jarh Wa Ta’dil
Al- jarh menurut bahasa berarti melukakan badan yang karenanya mengeluarkan darah . sedangkan menurut istilah ahli hadits al jarh adalah ‘’Tampak suatu sifat para perawi yang merusakan keadilannya, hafalannya, karena gugurlah riwayatnya atau dipandang lemah.’’
Disamping itu ada juga yang menamakan dengan tarijh . tarijh menurut bahasa berarti tsaqiq (melakukan) atau takjib . sedangkan tarijh menurut istilah ahli hadits ialah “menafsirkan para perawi dengan sifat- sifat yang menyebabkan lemah riwayatnya atau tidak diterima riwayatnya.
Atau dengan perkataan lain tarijh adalah menempatkan suatu isfat cacat, yang karenanya ditolak riwayatnya dan haditsnya dinilai lemah (dlaif).
Sedangkan pengertian ta’dil secara bahasa berasal dari kata al adlu yang berarti apa yang liris dalam jiwa, lawan dari durhaka. Dan seorang yang adil artinya kesaksiannya diterima dan al ta’di artinya mensucikannya dan membersihkannya . sedang al adlu menurut istilah adalah orang yang tidak nampak apa yang merusak agamanya dan perangainya maka oleh sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat- syarat menyampaikan hadits.
B. Urgensi Ilmu Al Jahr Wa Ta’dil
Al ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat- sifat yang mensucikannya, sehingga nampak keadilannya dan diterima periwayatannya.
Dan atas dasar ini maka ilmu al jahr wa ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang kualitas perawi dari segi kecacatan dan keadilannya dengan memakai kata- kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
Ilmu al jahr wa ta’dil dibutuhkan para ulama hadits karena dengan ilmu ini akan dapat dipisahkan, mana informasi yang benar datang dari nabi dan mana yang bukan. Sesuai dengan fakta sejarah, pemalsuan hadits telah terjadi sejak dini dan menonjol pada masa perebutan kekuasaan politik islam. Fakta itu menunjukan bahwa ternyata tidak semua pembawa hadits itu dpat dipercaya. Menunjukkan cacat periwayat hadits bukan dimaksudkan untuk menjatuhkan martabat individu, apalagi ulama tetapi untuk melindungi informasi nabi dari kepalsuan. Para ulama sadar sepenuhnya bahwa menunjukan aib orang lain itu dilarang oleh agama. Akan tetapi, bila al jahr (kritik) tidak dilakukan, maka bahaya yang timbul akan lebih besar, dan hadits Nabi tidak dapat diselamatkan.
C. Cara Mengetahui Kecacatan Dan Keadilan Perawi
keadilan seorang perawi itu dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut :
1. Dengan kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang adil (bisy-syuhrah), seperti terkenalnya sebagai orang yang adil di kalangan ahli ilmu bagi Anas bin Malik/ Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’iy,Ahmad dan sebagainya. Oleh karena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil dikalangan ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan tenteng keadilannya.
2. Dengan pujian dari seorang yang adil. Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semua rawi yang dita’dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan tentang kecacatan seorang perawi juga dapat diterima melalui dua jalan :
a. Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasiq atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
b. Berdasarkan pentarjihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebanya dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang oleh para muhadditsin. Sedang menurut para fuqaha sekurang-kurangnya harus ditarjih oleh dua orang laki-laki yang adil.
D. Sifat-Sifat Yang Menyebabkan Seorang Perawi Dinilai Jarh
Seorang perawi hadits dapat tidak diterima periwayatannya manakala terdapat suatu sifat atau beberapa sifat yang dapat menggugurkan keadilannya, yang efeknya tidak dapat diterima periwayatannya. Sifat-sifat tersebut antara lain seperti diuraikan sebagai berikut ini :
1. Dusta
Dusta dalam hal ini ialah bahwa orang itu pernah berbuat dusta tterhadap sesuatu atau beberapa hadist. Dalam pengertia, seorang perawi berrbuat dusta terhadap Rasulallah SAW ; seperti membuat hadits palsu, pernah menjadi saksi palsu, kecuali ia sudah taubat.
2. Tertuduh Berbuat Dusta
Maksutnya adalah seorang perawi sudah tenar dikalangan masyarakat sebagai orang yang berdusta. Periwayatan orang yang tertuduh dusta dapat diterima apabila ia betul-betul telah bertaubat sehingga masyarakat tidak lagi menuduh pendusta.
3. Fasiq (melanggar ketentuan syara’)
4. Jahalah
Yang dimaksut dengan jahalah adalah perawi hadits itu tidak diketahui kepribadiannya, apakah ia sebagai orang yang tercacat.
5. Ahli Bid’ah
Yang dimaksut ahli bid’ah yaitu perawi yang tergolong melakukan bid’ah, dalam hal i’tikad yang menyebabkan dia ia kufur maka riwayatnya ditolak
6. Hukum Men-jahr Seorang Perawi
An-Nawawi muqaddimah Sahih Muslim mengatakan, bahwa ulama telah sepakat memperbolehkan seseorang untuk mencacat orang lain. Hal ini didasarkan karena memelihara agama sehingga terhindar dari ketidakbenaran dalam menentukan kualitas suatu hadits (Muslim Jil.I), mencacat atau men-jahr seperti ini tidaklah termasuk mengumpat atau mencela orang lain, melainkan dianggap sebagai nasehat yang harus diterima dengan lapang dada dan sesuatu yang kita lakukan demi kepentingan agama.
E. Tingkatan Al-jarh dan At-ta’dil
1. Tingkatan Al-Jarh
a. Jarh dengan menggunakan ungkapan yang sangat buruk dan sangat memberatkan kepada orang yang dicacat karena kedustaannya.
b. Jarh dengan menggunakan kata yang sedikit lebih lunak, juga berkisar pada dusta.
c. Jarh dengan menggunakan kata yang lebih lunak dari tadi, yang menunjukkan bahwa hadisnya ditolah oleh orang banyak, atau tidak ditulis hadisnya.
d. Al-jarh dengan menggunakan kata yang lebih lunak lagi.
e. Al-jarh dengan menggunakan kata yang menunjukkan cacat ringan.
2. Tingkatan Ta’dil
a. Ta’dil dengan menggunakan ungkapan atau kata pujian yang sangat bersangatan
b. Ta’dil dengan mengulangi kata pujian, baik dengan kata yang sama atau mirip.
c. Ta’dil dengan menggunakan kata-kata pujian tanpa pengulangan.
d. Ta’dil dengan menggunakan kata-kata yang menggambarkan kebaikan seseorang, tetapi tidak melukiskan kecermatan, atau kekuatan hafalan seperti kata yang digunakan untuk ta’dil diatas.
e. Ta’dil dengan menggunakan kata yang agak dekat kepada tajrih.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al- jarh menurut bahasa berarti melukakan badan yang karenanya mengeluarkan darah . sedangkan menurut istilah ahli hadits al jarh adalah ‘’Tampak suatu sifat para perawi yang merusakan keadilannya, hafalannya, karena gugurlah riwayatnya atau dipandang lemah.’’
Sedangkan pengertian ta’dil secara bahasa berasal dari kata al adlu yang berarti apa yang liris dalam jiwa, lawan dari durhaka. Dan seorang yang adil artinya kesaksiannya diterima dan al ta’di artinya mensucikannya dan membersihkannya .
Al-jarh wa ta’dil juga memiliki beberapa tingkatan.
DAFTAR PUSTAKA
Rofiah , Khusniati. 2010. Studi Ilmu Hadist. cet.I . Ponorogo: Stain PRESS Ponorogo.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. cet. I . Bogor: Ghalia Indonesia.
Zuhri, Muh. 2003. Hadist Nabi. cet. II . Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Komentar
Posting Komentar